Menyoal Mentalitas Bangsa

oleh Yanuardi Syukur
“When one door of happiness closes, another opens; but often we look so long at the closed door that we do not see the one which has been opened for us." --Helen Keller
PENDEKAR Antropologi Indonesia, Prof. Koentjaraningrat pernah menulis tentang mentalitas bangsa Indonesia. Bukunya yang berjudul “Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan”(1974), dikaji oleh berbagai kalangan. Isi bukunya yang menjelaskan tentang mentalitas bangsa Indonesia itu, nampaknya masih relevan dengan kondisi sosial kita saat ini. Ada hal baik—seperti juga dalam kategorisasi Wartawan Senior Mochtar Lubis tentang manusia Indonesia—juga ada hal buruk.
Mentalitas yang buruk, ada yang sifatnya kelanjutan dari kolonialisme, juga ada karena mental asli bangsa yang berkembang sejak lama. Kasus malasnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) masuk kantor, anggota dewan yang lebih suka melancong buang-buang duit tidak produktif, serta bangunan kebiasaan masyarakat yang—seperti kata Keller di atas, “terlalu lama melihat pintu yang tertutup.” Padahal, masih ada pintu lain—atau sebutlah “kesempatan” atau “ide-ide”—yang bisa dijadikan solusi.

MEREMEHKAN MUTU

Seorang teknisi komputer pernah mengucapkan seperti ini, “Di sini tiap minggu selalu ada komputer kantor yang rusak. Padahal rusaknya itu sedikit sekali.” Kata beliau, tiap minggu ada saja pegawai yang membawa komputer kantornya untuk diperbaiki. Ini menjadi tanda tanya, “kenapa bisa setiap minggu ada saja instansi yang bawa komputernya untuk diperbaiki? Maka, mentalitas meremehkan mutu ini bisa jadi penyebabnya. Mungkin, mereka yang menggunakan komputer itu mutunya tidak baik. Tidak paham bagaimana mengoperasikan komputer dengan baik dan benar.
Kita juga bisa melihat mentalitas ini pada penerimaan formasi CPNS. Sudah sering kita dengar, katanya, kalau seseorang dekat dengan pejabat tertentu, maka ada saja jatah untuknya. Jadi, seorang diterima sebagai abdi negara, itu karena kedekatan, bukan karena mutu. Apa efek dari penerimaan seperti ini? Kelak terlihat sekali bagaimana tidak cakapnya abdi negara macam itu. Maka, sabda Nabi saw, bahwa “jika sebuah urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran,” menemukan kebenarannya di sini. Apa-apa jadi hancur, data aset daerah tidak terdokumentasikan dengan baik, dan manajemen pemerintahan juga dipertanyakan.
Mentalitas yang meremehkan mutu ini sebabnya karena apa? Menurut Prof. Koen, ini terjadi karena “kekosongan generasi di berbagai bidang kehidupan.” Mereka-mereka yang kreatif, begitu kosong di berbagai tempat. Kekosongan generasi kreatif ini bisa jadi karena masalah SDM kita yang tertatih-tatih. Beberapa daerah mau juga mekar, tapi manajemen yang saja belum maksimal pengelolaannya. Mutu, belum ditampakkan secara baik, kemudian ingin mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Tentu ini perlu dipertimbangkan lebih jauh.

SUKA MENEROBOS

Mentalitas suka menerobos dapat dimaknai sebagai sikap mental yang ingin mencapai suatu kedudukan dengan cara yang gampang, dan tidak mengindahkan proses alamiah. Suatu waktu, saya mengantri di ATM. Ketika mau masuk, tiba-tiba seseorang di belakang langsung menerobos masuk. Tampaknya lelaki itu kenal dengan orang yang sedang menarik uang di dalam. Melihat itu, saya mengambil kesimpulan bahwa mentalitas ingin cepat dengan cara-cara yang tidak terpuji, ternyata masih dipraktekkan oleh masyarakat kita.
Belum lagi dalam proyek di birokrasi. Seorang pimpinan salah satu partai, mengatakan seperti ini, “adakalanya, proyek-proyek itu sebenarnya tidak bisa jalan, tapi karena pakai uang, maka jadilah proyek itu.” Mendengar itu, bisa jadi betul. Untuk mendapatkan uang yang lebih banyak, orang rela menyogok kiri dan kanan. Padahal, kalau kita amati secara jernih, itu termasuk perbuatan yang sangat tercela. Nurani kita pun sebenarnya tidak suka dengan perbuatan macam itu.
Dalam dinamika sosial juga begitu. Berbagai kasus penyerbuan tempat ibadah, kerusuhan SARA, atau main hakim sendiri, itu karena mentalitas suka menerobos ini. Hukum tak lagi menjadi sesuatu yang patut diikuti. Akhirnya, masyarakat menyelesaikan masalah-masalah sosial mereka dengan kekerasan. Padahal negeri kita rata-rata umatnya beragama. Dalam agama diajarkan untuk saling membantu, bekerjasama, berbaik sangka, dan memberikan cinta dan kasih sayang antara sesama. Ironis sekali fakta ini. 

TIDAK PERCAYA DIRI

Yang ini juga menarik. Mentalitas tidak percaya diri atau tidak PD. Cobalah kita lihat saat ada acara. Rata-rata peserta yang hadir selalu maunya duduk di belakang, atau di tengah. Jarang di antara mereka yang berani untuk duduk di depan. Kalaupun sudah diminta untuk menempati posisi depan, umumnya kita lebih suka di belakang.
Apa makna yang tersirat dari fakta ini? Bisa jadi, ini adalah potret dari tidak percaya diri. Mereka yang yakin dengan dirinya sendiri akan tampil prima—walaupun harus sendiri. Tapi, mereka yang serba takut—takut salah, takut dicela, dan berbagai ketakutan personal lainnya—akan berdampak pada berbagai sisi kehidupannya. Dia mau kreatif, tapi takut atasannya marah. Mau berbuat baik akhirnya tidak jadi, karena masalah psikis internal ini.
Tak cuma di daerah sebenarnya. Di kota-kota besar seperti Ternate, Makassar, Surabaya, atau sebutlah Jakarta sebagai ibukota negara, juga dilanda macam begini. Suatu waktu, kami mengadakan seminar nasional di sebuah gedung mewah di seberang Monumen Nasional (Monas). Waktu mulai acara, jelas sudah jelas, tapi peserta masih juga bergerombol di luar. Setelah diminta oleh moderator untuk menempati kursi bagian depan, ternyata tak juga banyak yang berminat. Rata-rata lebih suka di belakang, atau di tengah. Fakta ini kelihatannya sepele, tapi kalau diperhatikan lebih jauh, bisa jadi hal ini juga yang memberikan pengaruh pada berbagai kelambatan kita menjadi bangsa yang maju dan besar.

TIDAK DISIPLIN

Contoh paling mudah tentang mentalitas tidak disiplin ini ada di jalan raya. Masih banyak yang acuh tak acuh tidak menggunakan helm di jalan raya. Bisa jadi, mereka berkata, “ah, sekarang kan hari Minggu, polisi tarada!” Jadi, mereka pakai helm yang berfungsi sebagai pengaman kepala itu karena faktor ada tidaknya polisi. Salahkah? Jelas itu salah. Sehebat Valentino Rossi sekalipun dalam membawa motor, tapi masalah keamanan haruslah diperhatikan. Ini adalah sikap berjaga-jaga jika kelak ada saja kecelakaan lalu lintas. Sebuah pepatah mengatakan, “prevention is better than cure”(mencegah, itu lebih baik daripada mengobati).
Mentalitas ini terdapat dalam banyak sisi—dari jalan raya, birokrasi, hingga tempat-tempat ibadah. Di jalan raya, kerap ada yang tidak peduli dengan marka jalan, atau lampu merah. Di birokrasi, juga begitu. Kalau kepala daerahnya tidak di tempat, maka bermalas-malasanlah para abdi yang digaji oleh negara itu. Ketika sang kepala daerah masuk kantor, barulah satu satu pasang muka baik, taat, dengan kesan, “saya orang yang disiplin dan loyal.” Tak bisa digeneralisir memang, tapi tak bisa juga kita berpaling dari fakta yang benar-benar ada ini.   
 Mereka yang bermental seperti ini lazimnya bertindak bukan karena kesadaran bahwa ia haruslah berkarya. Ia berkarya, bekerja, itu karena posisinya. Jadi, pekerjaan yang ia lakoni semata untuk menyelesaikan tugas saja, atau bahasa lainnya “kejar setoran.” Akhirnya pekerjaan demi pekerjaan tak ada unsur kreatifnya. Kebijakan sebuah instansi dari dulu sampai sekarang tak beranjak dari hal ini dan itu, tak lepas dari proses copy dan paste. Padahal, yang saat ini kita butuhkan demi kemajuan daerah dan bangsa ini adalah tipikal manusia Indonesia yang disiplin, dan berani membuat inovasi.

MENGABAIKAN TANGGUNGJAWAB

Abai dengan tanggungjawab itu berbahaya. Mereka yang korupsi, jelas abai. Mereka yang menyalahgunakan wewenangnya dalam birokrasi, juga abai. Para mahasiswa yang tidak belajar sungguh-sungguh, juga abai. Para nelayan yang mendapatkan uang hasil tangkapannya kemudian dihabiskan untuk sekedar menenggak minuman keras dan tidak menyisakan kepada anak istrinya, juga jelas-jelas abai dengan tanggungjawab. Tak terkecuali, presiden yang beberapa waktu lalu curhat bahwa gajinya beberapa tahun tidak naik-naik, kalau tidak peduli dengan penderitaan rakyat, juga ia termasuk mengabaikan tanggungjawab. Ternyata, mengabaikan tanggungjawab ini tak hanya ada di tingkatan tertinggi seperti presiden, tapi juga rakyat jelata.
Seharusnya, ketika seseorang telah menyatakan sanggup untuk melaksanakan sebuah pekerjaan, maka dia haruslah bertanggungjawab atas keberhasilan pekerjaan tersebut. “Apabila perlu,” kata Prof. Amri Marzali, Antropolog UI, “demi keberhasilan pekerjaan tersebut, dia harus sanggup mengorbankan dirinya sendiri.”
Terkait masalah ini, maka baik sekali agar manusia Indonesia lebih setia terhadap satuan sosialnya. Ada kesan—dan ini juga diungkap oleh Koen—bahwa orang Indonesia itu kurang setia terhadap instansi yang diikutinya. Yang ideal adalah, seperti yang dipraktekkan oleh orang Jepang. Bagaimana modelnya? Manusia terbaik menurut orang Jepang adalah “mereka yang setia secara total terhadap kesatuan sosial, organisasi, atau instansi yang sudah dipilih untuk diikutinya” (Marzali, 2007: 136).
Lima mentalitas negatif di atas adalah turunan dari apa yang dijelaskan oleh Prof. Koen kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu. Melihat kategorisasi ini, tampaknya memang benar, mentalitas bangsa kita masih belum beranjak dari kelimat mentalitas negatif itu. Untuk bangkit bagaimana? Tentu saja, dengan berprilaku kebalikan dari kelima hal itu akan berguna sekali bagi kebangkitan dan pembangunan negeri ini. Meningkatkan mutu (baik mutu pribadi maupun lembaga), tidak menerobos dan membiasakan hidup sabar, percaya diri (karena punya potensi dan kreativitas), disiplin dalam berbagai aspek, dan bertanggungjawab dengan amanah yang ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Sumber Daya Manusia: Sebuah Pengantar

Dorong Hobi Jadi Buku