Sesat Pikir Pemuda Kita

oleh Yanuardi Syukur

"PEMUDA adalah harapan bangsa. Ya, bisa jadi—atau kita sepakati saja—itu betul. Pemuda, dalam banyak literatur disebut sebagai pelopor kebangkitan. Dalam sejarah Indonesia modern, kiprah kaum muda selalu disandingkan dengan perubahan sosial politik. Dari keberanian pemuda untuk bersumpah pada 1928, negeri ini jadi merdeka, pergantian kuasa dari lelaki berakhiran "no" (Soekarno) ke "to" (Soeharto), hingga reformasi dan penjatuhan rezim (sebutlah itu rezim Gus Dur), kiprah pemuda selalu tak ketinggalan.

Namun, tak jarang dari predikat pemuda sebagai harapan bangsa itu, ada saja sesat pikir di dalamnya. Syahwat kuasa yang begitu tinggi, meraup duit dengan memanfaatkan posisi juga ada. Setidaknya, sesat pikir yang ada di kalangan pemuda, bisa kita lihat pada pikiran sederhana (simple minded), "pertarungan" antara mempertahankan independensi ataukah dependensi, berorientasi duit (fulus/money), hingga gaya parlente nan konsumtif sebagai tanda ia sukses dan tak ketinggalan jaman.

Keempat sesat pikir itu bisa kita lihat dari penjelasan berikut ini. Belum ada penelitian mendalam tentang ini memang, tapi klasifikasi di berikut bisa menjadi asumsi sederhana betapa dalam diri pemuda yang di satu sisi disebut sebagai harapan bangsa, juga terkandung di dalamnya sebuah oposisi biner yang pada titik tertentu malah bisa memperlambat kemajuan bangsa.

Simple Minded

Dalam Indonesia Kita (2003), Nurcholish Madjid menulis bahwa tak jarang bangsa luar menilai bahwa kita adalah bangsa yang berpikiran sederhana (simple minded). berpikir sederhana itu, menurut Cak Nur, bisa disebabkan karena belum meratanya pendidikan. Tapi selain itu, kita disebut sebagai simple minded, itu karena tak jarang ditemukan gejala premanisme. Ia menulis, "…premanisme itu tidak hanya kita temukan di kalangan orang ‘pinggir jalan’, tapi juga di antara mereka yang secara formal menduduki tempat-tempat terhormat" (hal. 122).

Lihatlah, pada kasus tawuran antara mahasiswa. Dalam reformasi, para mahasiswa bisa disebut sebagai kekuatan garis depan, rezim otoriter seperti Soeharto bisa runtuh. Tapi kemudian, ketika kembali ke kampusnya masing-masing, kerap saja mereka saling menghancurkan. Tak jarang tawuran itu terjadi karena masalah sepele, seperti masalah perempuan, atau kesalahpahaman antara pribadi. Malahan, bisa jadi tawurannya pemuda ini lebih elit lagi, dengan saling melaporkan kawannya ke pihak yang berwajib. Coba kita pikir: berapa banyak energi yang keluar sia-sia sekedar untuk menjatuhkan kawan yang dianggap lawan itu?

Gejala simple minded ini sangatlah ironis. Mahasiswa, sebagai kaum muda, yang disebut sebagai agen perubahan (agent of change) dan agen perubahan sosial (agent of social change) terjebak dalam tindakan yang jauh dari nalar akademik. Tak hanya mahasiswa, mereka yang sudah alumni dan menempati posisi pada organisasi kepemudaan, juga dihinggapi gejala simple minded itu, yang salah satu sebabnya karena Cak Nur, karena "sangat kurang minat untuk membaca serta belajar secara mendalam dan meluas." Bisa jadi, pasca belajar di perguruan tinggi, para pemuda itu berpikir bahwa bekal pendidikannya telah cukup untuk menjadikannya sukses di tengah-tengah masyarakat. Mereka yang melupakan buku pasca menjadi alumni itu, sangat besar kemungkinan untuk terjebak dalam lumpur premanisme, atau kejahatan intelektual lainnya. 

Dependen atau Independen?

Salah satu masalah dalam organisasi kepemudaan adalah masalah independen atau dependen. KAMMI dianggap oleh kalangan lainnya sebagai underbow (kaki tangan) dari sebuah partai—sebutlah itu PKS. Walau dibantah oleh para aktivisnya karena memang secara struktural tak ada hubungan komando, tapi beberapa literatur seperti wawancara Ali Said Damanik—dalam bukunya Fenomena Partai Keadilan (PK)—dengan petinggi PKS, disebutkan bahwa ada hubungan antara PKS (dulu PK) dengan KAMMI. Beberapa petinggi KAMMI yang selanjutnya berkiprah di PKS seperti Fahri Hamzah dan Andi Rahmat, juga membuktikan bahwa ada hubungan antara kedua organisasi itu.

Antara HMI (Dipo) dan Golkar di masa lalu terkadang sulit untuk dipisahkan. Para tokohnya banyak yang masuk ke ranah politik dan berkiprah di Golkar. Sebutlah itu Akbar Tanjung. Namun sejak Tanjung yang pernah menjadi menteri beberapa kali dan ketua DPR RI itu turun pamor, tampaknya hubungan antara HMI dan Golkar juga mengalami pasang surut. Walau ditepis oleh kalangan HMI, tapi kedekatan yang lebih antara kader HMI ke Partai Golkar—terutama di masa lalu—sulit untuk dinafikan.

Begitu juga dengan PMII ke Nahdlatul Ulama atau partai-partai yang berbasis NU. PMII adalah salah satu jejaring dari NU untuk meluaskan dakwahnya di kalangan mahasiswa. Seperti juga KAMMI yang terkadang melakukan kegiatan di lokasi atau basis-basis PKS, PMII juga melakukannya di basis-basis NU—sebutlah itu di gedung NU.

Di kalangan yang disebut sebagai "kiri", juga seperti itu. Mereka yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) juga tak lepas dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kini telah vakum dan boss-nya (Budiman Sudjatmiko) pada akhirnya jadi wakil rakyat dari PDIP—mungkin karena dekat secara ideologis. Sewaktu mahasiswa, sekretariat kami tak seberapa jauh dengan kawan-kawan LMND, dan kegiatannya—juga aktivisnya—tak jauh dari itu-itu juga. Tampak bahwa gerakan mahasiswa—atau pemuda—sulit sekali berdiri sendiri (independen). Bisa jadi ketergantungan kepada dana dan jaringan yang membuat gerakan mahasiswa atau pemuda itu memilih membangun simbiosis mutualisme dengan gerakan lain yang lebih besar.

Masalah independen dan dependen ini, kelak berakibat pada daya kritis. Gerakan yang independen cenderung untuk lebih berani berkata kritis kepada pemerintah, hatta pada mereka yang memerintah itu adalah senior atau qiyadah (pemimpin—istilah dalam jama’ah Tarbiyah) mereka sendiri. Namun, ini memang berat. Dalam beberapa kasus, ketika gerakan mahasiswa yang notabene memiliki kaitan erat dengan organisasi lain yang lebih besar, selalu ada tarik menarik kepentingan di situ. Kalaupun sebuah organisasi itu dependen di bawah sebuah ormas, maka baik sekali jika para aktivisnya untuk tetap bersikap kritis kepada atasannya karena dengan begitulah maka kontrol sosial akan terjadi.

Fulus Oriented

Dalam sebuah pemberitaan di media massa, seorang aktivis mengeluh. Dia berkata, "kalau tanpa dana, mana bisa kegiatan berjalan?" Baiklah, kalau begitu. Kita sepakati bahwa: uang bisa membuat kegiatan berjalan. Tapi, apakah hal seperti layak diucapkan oleh seorang pemuda yang masih kuat secara fisik dan akal? Kenapa tidak berpikir untuk menjadi organisasi yang mandiri? Misalnya, organisasi mereka membuat sebuah usaha pengetikan, dan kelak hasil dari usaha itu mereka bagi secara adil kepada pemilik modal, pekerja, juga untuk organisasi. Bukankah ini lebih kreatif ketimbang hanya berharap dari kucuran pemerintah?

Ya, orientasi duit atau fulus itu berbahaya bagi gerakan mahasiswa atau pemuda. Uang itu penting, tapi tidak selamanya harus diharapkan. Berpikir kreatif dengan memanfaatkan potensi yang ada, itu lebih baik ketimbang hanya meminta-minta kepada instansi atau pejabat tertentu. "Lebih baik menjadi kepala jangkrik," kata sebuah kalimat motivatif, "daripada menjadi ekor gajah." Ini berarti bahwa, kemandirian—walau itu skalanya kecil—lebih baik ketimbang menjadi ekor, pengikut yang hanya puas di posisi belakang kekuatan besar.

Gerakan mahasiswa dan pemuda perlu memikirkan ini. Kemandirian perlu sekali untuk dimassifkan dalam gerakan. Artinya, kebiasaan untuk ahli dalam proposal—walau itu juga baik—perlu ditimbang masak-masak. Ada baiknya kita mulai berpikir untuk membuat sesuatu yang kreatif, inovatif, dan mendayagunakan akal dengan berbagai penemuan atau usaha ketimbang hanya menjadi peminta-minta—katakanlah "pengemis intelektual."     

"Bagaya Saja"

Peradaban berkembang, style dunia juga tambah maju. Tak terkecuali para aktivis, mereka juga tak ketinggalan. Kebiasaan untuk lebih banyak rapat di mall atau kafe-kafe ketimbang diskusi di perpustakaan, tampaknya menggejala. Kafe rupanya menjadi salah satu solusi yang santai bagi berbagai kalangan untuk mendiskusikan masalah sosial. Pergerakan juga tak jarang hadir dari tempat ini.

Kopi, rokok, dan musik, tampaknya tiga kelindan yang dewasa ini menjadi inspirasi besar bagi kalangan pergerakan. Salahkah? Bisa jadi tidak, karena tak bisa dipungkiri ada nilai positif dari situ. Kesan "lebih keren"—selain letak yang strategis—tampaknya diinginkan juga oleh para aktivis yang bergaul dengan kafe itu.

Kalau kita pikir-pikir, ini adalah bagian dari gaya konsumtif dunia yang sedang menjalar. Kenapa bukan perpustakaan? Bisa jadi, perpustakaan kita sudah mulai tidak diminati oleh para aktivis pergerakan. Kita bandingkan saja begini: saat diskusi di kafe, kalau ada hal-hal yang tidak diketahui, mereka merujuk kemana? Paling tidak, hal yang masih kurang jelas itu akan ditangguhkan di lain waktu. Kalau di perpustakaan, apa yang dicari bisa jadi diperoleh. Cuma, mungkin saja karena perpustakaan kita saat ini tidak lagi menarik—buku yang kurang dan malas dilengkapi, tidak terawat (ba-abu/banyak debu), dan tak ada pembaruan—sehingga para aktivis memilih untuk berdiskusi di tempat-tempat yang relatif santai tapi tak kehilangan citra "keren."

 Dalam masalah makanan juga begitu. Kalau dulunya biasa makan di warung pinggir jalan dengan tahu, tempe, atau ikan cakalang, maka dewasa ini—karena proyek proposalnya berhasil—para aktivis juga sudah mulai meninggalkan cakalang dan kawan-kawannya itu. Mereka lebih senang makan di mall, "tempatnya lebih bersih," katanya, bisa "cuci mata" (kalau tak terkendali, ini bisa jadi masalah selanjutnya), AC-nya bagus, dan tak ketinggalan jaman. Salahkah? Tentu tidak, namun pergeseran orientasi ini perlu disikapi secara hati-hati. Karena daya kritis itu bisa saja menjadi lemah kuasa ketika berhadapan dengan yang lembut-lembut seperti AC, fashion, dan keinginan sesaat untuk "mencuci mata" itu. 

Apa yang dipaparkan di atas, dari simple minded, masalah posisi (dependen atau independen), orientasi fulus, hingga gaya konsumtif itu bisa menjadi sebuah renungan bagi kaum muda, baik secara personal atau kelembagaan. Secara personal, kaum muda perlu meningkatkan grade intelektualnya agar tidak simple minded! Kebiasaan menjadi "pengemis intelektual", minta-minta duit kepada orang lain, perlu diakhiri pelan-pelan. Begitu juga trend dunia konsumtif "bagaya saja" (cuma gaya) saat ini, perlu disikapi secara proporsional, karena kemapanan seperti itu kerap saja membuat idealisme menjadi luntur, tumpul dan buntu. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Sumber Daya Manusia: Sebuah Pengantar

Dorong Hobi Jadi Buku

Menyoal Mentalitas Bangsa