Lihat Nil, Rindu Mesir

Oleh Yanuardi Syukur
Sungai Nil
Ada semacam “kebanggaan” bagi salahsatu bangsa dengan peradaban tertua ini. Prof. Dr. Hamka, suatu waktu menulis tentang itu. Kata Hamka, orang Mesir berkata bahwa siapa yang pernah meminum air dari sungai Nil, maka hatinya akan selalu rindu untuk kembali ke Mesir. Bisa jadi itu benar. Novel bestseller karya alumnus Al-Azhar, Habiburrahman El-Shirazy—Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih—adalah semacam kerinduan kepada Mesir yang ia tuangkan dalam novel “pembangun jiwa”-nya itu.
Kerinduan pada Nil itu, beralasan memang. Setidaknya, sejak lama anak negeri kita juga rindu akan Mesir. Sudah banyak ulama yang menimba ilmu di sana. Ada Mahmud Yunus, salah seorang penerjemah dan penafsir Al-Qur’an kita yang termasuk generasi awal. Hamka mendapatkan gelar doktor kehormatan (Honoris Causa/HC) pada 1958 dengan pidatonya tentang pengaruh Muhammad Abduh terhadap tokoh pembaharu Islam di Indonesia, juga dari Al-Azhar. Gus Dur, pernah juga di sana—walau tak tamat. M. Quraish Shihab yang pada Ramadan biasa kita lihat ceramahnya di televisi, juga pernah belajar dari Mesir. Tak terkecuali, putra-putri dari Maluku Utara juga tak ketinggalan untuk memperdalam ilmunya di kampus tertua di dunia itu.
HUBUNGAN KITA
Indonesia dan Mesir punya hubungan yang erat. Dalam pendidikan, sudah banyak ulama yang belajar dari sana. Mereka belajar bertahun-tahun, menghafalkan Al-Qur’an, mengkajinya dalam berbagai majelis, bertemu dengan ulama-ulama besar dunia, dan mengambil saripati terbaik dari negeri di sebelah utara Benua Afrika itu.
Setelah negeri kita mendeklarasikan kemerdekaan di Pegangsaan Jakarta, selanjutnya kita membutuhkan pengakuan internasional. Secara de facto, Indonesia memang sudah merdeka dari penjajahan—apakah itu Belanda atau Jepang. Tapi, secara de jure, kita membutuhkan dukungan dari negara luar. Dan, di sinilah sumbangsih besar Mesir kepada bangsa ini.
Ketika itu, delegasi dari Indonesia seperti Prof. Dr. M. Rasyidi mengunjungi Mesir untuk mencari dukungan akan kemerdekaan. Para mahasiswa kita yang di sana juga tergabung dalam sebuah komite bersama dengan orang-orang Mesir untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan Indonesia. Haji Agus Salim yang 1946 menjadi Menteri Muda Luar Negeri di Kabinet Syahrir II juga ke Mesir. Di Kairo, Salim mendapatkan rintangan dari Duta dari Belanda yang menyatakan bahwa usaha itu melanggar perjanjian Linggarjati. Tapi, itu tidak diindahkan oleh lelaki yang menguasai tak kurang dari 7 bahasa asing itu (Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Jepang, dan Turki). Akhirnya pada 10 Juni 1946 ditandatangilah hubungan persahabatan Indonesia-Mesir (Roem, 1983: 55).  
Di Mesir, Salim, Rasyidi, dan juga Sutan Syahrir bertemu dengan Hasan Al-Banna, pendiri Al-Ikhwan Al-Muslimun, dan Al-Ikhwan memberikan bantuan yang signifikan. Walau kini, organisasi ini mengalami berbagai turbulensi politik—pemimpinnya dipenjara, dibunuh, dan diasingkan—tapi gerakan ini tetaplah eksis. Al-Ikhwan, yang menurut International Herald Tribune (IHT) disebut sebagai gerakan “oposisi terbesar” di Mesir ini, kini juga memberikan sumbangsihnya bagi perlawanan terhadap Mubarak dengan mendukung Elbaradei.
Hubungan kita dan Mesir boleh dikata begitu dekat. Selain pendidikan, kita juga berhutang kepada mereka terkait dengan pengakuan kedaulatan. Negara merekalah yang pertama kali mengakui kemerdekaan kita. Olehnya itu maka hubungan diplomatik antara Indonesia dan Mesir terus berjalan hingga kini, walaupun hubungan itu tampaknya lebih banyak terkait dengan pendidikan ketimbang bisnis.   

WISATA DUNIA

Salah satu keajaiban dunia adalah Piramida yang ada di Giza. Dari kecil kalau dengar Mesir, kita terbayang namanya Piramida. Sebuah bangunan segitiga yang di dalamnya itu digunakan sebagai tempat pemakaman bagi raja-raja Mesir Kuno serta untuk keperluan pemujaan kuno itu, menarik banyak wisatawan. Kalau orang ke Mesir, rasanya rugi kalau tak sempat mampir atau sekedar berfoto-foto di Piramida, termasuk juga patung setengah singa setengah manusia—Sphinx.
Keberhasilan Mesir dalam menjadikan objek wisatanya untuk selalu dirindukan oleh wisatawan itu menarik sekali. Di negeri ini juga kalau kita ke Jawa selalu tak ketinggalan kunjungan ke Monas (Monumen Nasional), ataupun candi raksasa yang didirikan oleh Dinasti Syeilendra, yaitu Borobudur. Yang patut kita ambil di sini, dalam konteks lokal Maluku Utara adalah, bagaimana menjadikan peninggalan sejarah sebagai aset berharga yang mendatangkan laba bagi negeri ini. Kita punya peninggalan kerajaan lampau seperti benteng, juga pranata budaya yang adiluhung. Begitu juga peninggalan Perang Dunia Kedua kita punya. Tapi tampaknya peninggalan itu tidak terlalu diindahkan oleh pemerintah. Seharusnya hal itu bisa jadi kekayaan wilayah kita yang sejatinya memang tidak ditemukan di daerah lain di Indonesia.
Kita tentu berharap dengan Sail Indonesia Morotai (SIM) 2012 nanti bisa menjadi titik tolak terbaik bagi pemanfaatan pariwisata kita. Artinya artefak-artefak sejarah yang ada—baik itu di daratan maupun dasar laut—perlu dimanfaatkan untuk menjadi daya tarik yang lebih luas bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Tentu, ini selain harapan adanya investasi yang datang pasca kegiatan bertaraf internasional itu.

DILEMA DEMOKRASI

Demokrasi kerap diartikan sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat juga.” Tapi yang berlaku di Mesir tidak begitu. Pasca terbunuhnya Anwar Sadat pada 1981 yang mengantarkan Husni Mubarak menjadi presiden, rupanya demokrasi tidak benar-benar diterapkan oleh lelaki yang beristrikan perempuan Wales (Inggris) bernama Susanze itu. Tiga puluh tahun dia berkuasa, tapi anehnya pengangguran semakin merajalela. Belum lagi korupsi, dan “efek menetes ke bawah” (tricle down effect) tidak berhasil di tingkatan massa. Yang kaya tambah kaya, yang miskin semakin terpuruk. Ini juga yang menjadikan kalangan muda di negeri kinanah itu berontak dan menuntut lelaki berumur di atas 80-an itu mundur.
Apa yang bisa kita petik dari demokrasi Mesir itu? Setidaknya begini: pemimpin yang terlalu lama cenderung untuk tidak peka. Tiga dasawarsna Mubarak memimpin tapi anehnya di tengah ratusan korban mati dalam demonstrasi terbesar ini ia masih tetap tidak peka. Sebuah poster memperlihatkan gambar bagaimana massa mendekatkan microfon ke telinga Mubarak, tapi masih juga tidak didengarnya!  Ketidakpekaan inilah yang membuat jadi begitu kecanduan untuk memimpin. Beberapa kali Pemilu diadakan, tapi tetap yang keluar nama itu-itu juga.
Pelajaran lainnya adalah masalah duit. Sebuah sumber menyebutkan bahwa kekayaan keluarga lelaki yang pada 1973 diangkat sebagai Panglima Angkatan Udara Mesit itu di atas 300 Triliun. Ini benar-benar luar biasa! Tak jauh bedalah dengan Pak Harto yang anak-anaknya begitu kaya menjulan di tengah kemiskinan rakyat. Cerita tentang khalifah yang mematikan lampunya ketika melayani seorang tamu yang membicarakan bukan masalah negara, sudah tentu jauh dari kepribadian Mubarak. Belum lagi tentang khalifah yang memikul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada sebuah keluarga yang kelaparan, ini juga rasanya jauh dari model Mubarak.
Kita bisa mengambil hikmah dari sini, bahwa menjadi pemimpin itu tidak mudah. “Memimpin adalah menderita (leiden is lijden),” begitu kata Kasman Singodimedjo. Artinya bahwa seorang pemimpin itu harus siap untuk menderita. Jangan mau enak-enakan di tengah rakyat yang tercekik secara ekonomi. Curhat masalah gaji yang bertahun-tahun tidak dinaikkan juga hal yang naïf sekali. Dari sini terlihat bahwa di tengah himpitan ekonomi, presiden kita kurang peka mata hatinya. 
Apa yang terjadi di Mesir sana perlu kita ambil pelajaran berharganya. Masalah pendidikan, kita harus tingkatkan. Masalah pariwisata dunia perlu kita kembangkan. Begitu juga terkait dengan kehidupan berdemokrasi dan karakter kepemimpinan yang pro kepada rakyat. Ketiga kerinduan ini rasanya penting dijadikan pelajaran terkait dengan gejolak politik yang sedang panas-panasnya di negeri Piramida itu. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Sumber Daya Manusia: Sebuah Pengantar

Dorong Hobi Jadi Buku

Menyoal Mentalitas Bangsa