Yanomamo ala Cikeusik

Oleh: Yanuardi Syukur
TIGA orang tewas dalam sebuah penyerangan terhadap jema’ah Ahmadiyah (06/02). Di Cikeusik, Banten, penyerangan ini menjadi headline di berbagai media massa—cetak maupun elektronik. Melihat itu, timbul sebuah pertanyaan, kenapa perbedaan harus disikapi dengan kekerasan—termasuk dengan penghilangan nyawa?
Apa yang dilakukan oleh kelompok massa di Cikeusik itu tampaknya ingin memperlihatkan keganasan tertentu. Bisa jadi ini adalah kelanjutan dari tribalitas tradisional yang kerap suka dengan kekerasan. Di masyarakat sederhana, keganasan pada titik tertentu bisa dianggap sebagai sebuah cita-cita. Lelaki di suku Indian Yanomamo, misalnya, mereka kerap berkelahi, dan aktivitas ini menurut mereka adalah cita-cita—semacam paradigma—yang menganggap bahwa “lelaki itu harus keras” (Haviland, 1988: 419). 

MENYIKAPI DA’TSUR

Ahmadiyah, oleh kaum muslim mainstream (arus utama) yang mayoritas di atas bumi ini menganggap bahwa Ahmadiyah adalah gerakan yang sesat. Beberapa negara telah melarang Ahmadiyah di negerinya—termasuk di Indonesia—yang dalam SKB Tiga Menteri telah membatasi (lebih lunak dari melarang) gerakan Ahmadiyah. Masalah kesesatan, tentu ini ada porsi untuk menghadapinya, namun apakah harus disikapi dengan kekerasan—bahkan sampai pada penghilangan nyawa?
Ada baiknya kita melihat bagaimana sikap terbaik terhadap mereka yang dianggap musuh. Ini tentang Da’tsur. Cerita singkatnya, dalam sebuah peperangan antara Rasulullah saw. dengan tentara yang dipimpin oleh Da’tsur. Saat jeda perang, Da’tsur merayap ke barisan Rasulullah. Ia pun mendapatkan kesempatan, dan menghunuskan pedangnya kepada Rasul. “Siapa yang dapat mempertahankan nyawamu dari pedangku?” Kata Da’tsur. Rasul menjawab, “Allah.” Mendengar jawaban itu, Da’tsur terkagum-kagum, gemetar tubuhnya, dan pedangnya itu jatuh ke tanah. Rasul pun mengambil pedang itu dan mengacungkan ke lehernya, “Hai, Da’tsur, siapa yang dapat menyelamatkan nyawamu dari mata pedang yang ada di tanganku ini?” Badannya gemetar, ia ketakutan, dan menjawab, “Tidak ada yang dapat mempertahankan nyawaku dari pedang itu.”
Lantas, apa sikap Rasul setelah itu? Beliau memperlihatkan sikap yang sangat bijaksana. Kepada seorang pemimpin, yang benar-benar musuh dalam peperangan, ia masih memperlihatkan kesantunannya. Ia berkata kepada Da’tsur, “Hai Da’tsur, ketahuilah bahwa Allah juga dapat mempertahankan nyawamu dari mata pedang yang di tanganku ini.” Dengan tidak ragu, Rasul yang oleh Michael Hart dimasukkan sebagai orang nomor satu yang berpengaruh di dunia itu, menyerahkan pedang tersebut kepada Da’tsur dengan pertimbangan bahwa saat itu masih berlaku perjanjian penghentian tembak menembak.
Coba kita perhatikan, betapa santun dan iba hatinya seorang Rasulullah. Dalam Islam, Rasul Muhammad saw. adalah teladan yang paling baik (uswatun hasanah). Artinya bahwa seluruh manusia yang beriman kepada ajaran Islam, wajib untuk mengikuti jejak manusia yang paling mulia itu. Kekerasan, sikap bertindak sendiri, egoisme, dan tidak toleran yang diperlihatkan dalam kasus Cikeusik, tentu jauh sekali dengan ajaran kesantunan dari Rasulullah.
Masalah keyakinan, tentu haruslah didialogkan. Muslim mainstream, sebutlah yang diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) perlu mengajak kepada kalangan Ahmadiyah—terutama Qadiyan—yang menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid (pembaharu) dan nabi itu, untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar yang meyakini bahwa Rasulullah Muhammad saw. adalah rasul dan nabi yang terakhir (khatam an-nabiyyin).
Coba kita lihat lagi bagaimana respon Da’tsur menghadapi sikap Rasulullah. Ia pun pulang ke pasukannya. Tapi kali ini berbeda dengan kali pertama dia merangsek ke pasukan kaum muslim. Ia kembali dengan terharu, dan berkata kepada pasukannya, “Aku kembali dari pertemuan dengan sebaik-baik manusia.” Ia bercerita tentang peristiwa ia dengan Rasulullah. Apa efek rasa iba dan pengampunan dari Rasul itu? Akhirnya, Da’tsur dan pasukannya pun mengikuti kepada ajaran Rasulullah.
Dari sini, terlihat bagaimana sikap seharusnya seorang muslim dalam menyikapi kelompok lain yang dianggap sebagai musuh. Sikap intoleran yang diperlihatkan oleh sekelompok massa di Cikeusik itu, bisa jadi awalnya tidak berniat seperti itu, namun di tengah jalan, ada provokasi yang secara alamiah muncul. Jadi, dari awalnya toleransi, sikap sabar, kemudian disulut oleh ketidaksabaran, percampuran massa yang begitu kompleks, atau keyakinan bahwa sikap keras itu baik, maka terjadilah peristiwa itu. Ada baiknya, menyikapi Ahmadiyah, gerakan Islam mainstream tidak terjebak dalam kekerasan, akan tetapi dengan dialog yang bijaksana, dan ajakan agar kembali ke jalan yang Islam yang lebih kuat landasannya.

MASALAH WATAK

Apakah kekerasan itu watak bangsa kita? Rasanya tidak juga. Sejak lama brand bangsa kita adalah: santun, gotong royong, kerjasama, dan toleransi. Brand itu pada realitanya memang ada. Sebagai contoh, jika ada orang yang kelaparan dan meminta bantuan sementara di rumah kita ada nasi dan lauk, maka biasanya kita akan membantu mereka yang kelaparan itu. Jadi, watak bangsa kita sebenarnya santun, namun kesantunan itu kerap saja dinodai oleh ketidaksantunan oleh beberapa kalangan.
Ketika Islam masuk ke Indonesia, tak ada peperangan. Islam masuk dengan penyebaran ajaran yang santun, dan anti pada perang. Di Jawa misalnya, ajaran Islam disebarkan lewat media kesenian setempat, seperti yang dilakukan oleh Sunan Bonang (1465-1525). Tembang “Tombo Ati” yang dipopulerkan oleh musisi Opick, awalnya adalah gubahan syair yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Jadi, penyebaran Islam dengan santun itu yang membuat penduduk lokal tertarik untuk menjadikan Islam sebagai pegangan hidupnya.
Ini berarti bahwa watak Islam adalah ajaran wataknya yang penuh toleransi. Percampuan ajaran Islam yang dibawa dari tanah Arab dengan karakter penduduk pribumi nusantara, menjadikan Islam di negeri ini terlihat santun. Karakter muslim yang moderat di negeri ini juga terlihat di berbagai tempat. Dalam masalah Piagam Jakarta misalnya, ketika ada penolakan dari kalangan Kristiani di Indonesia Timur, akhirnya tujuh kata dalam kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pun dihapus. Toleransi Islam terlihat sekali di sini.
Jadi, watak bangsa kita sebenarnya tidak keras. Namun, karena watak itu tidak dikelola dengan baik—bisa jadi oleh para agamawan—akhirnya kekerasanlah yang menjadi solusi. Seharusnya, kekerasan ditinggalkan di jaman yang modern ini. Kalaupun ada yang ajarannya berbeda, seperti Ahmadiyah, maka perlu sekali disikapi dengan dialog saja, ajakan, atau jika Ahmadiyah Qadiyan tetap meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, maka dipersilahkan saja untuk menjadi agama tersendiri, terpisah dari Islam dan bernama Agama Ahmadiyah.

PERAN NEGARA

“Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya,” demikian sebuah definisi sederhana. Jadi, negara itu sifatnya sah dan rakyatnya taat pada keputusan pemimpinnya. Kalau, masyarakatnya sudah tidak taat, main hakim sendiri seperti di Cikeusik—termasuk juga di Temanggung—maka bisa jadi ada masalah dengan negara.
Menyikapi konflik sosial di Cikeusik, beberapa tokoh tak lepas mengkritik kelemahan negara. Tak kurang dari mantan Wapres Jusuf Kalla yang mengkritik pemerintah sekarang. Muhammad Syafi’i Ma’arif juga mengalamatkan kritikan itu kepada pemerintah. Karena pemerintah yang tidak tegas masalah Ahmadiyah ini, akhirnya masyarakat pun bertindak melewati batas.
Kelemahan aparat di Cikeusik juga masalah. Termasuk di Temanggung yang pihak kepolisiannya harus dibantu oleh pasukan tentara untuk mengamankan kericuhan. Negara, dalam hal ini pemerintah dari pusat sampai daerah, tampaknya tidak belajar dari berbagai kerusuhan. Seharusnya potensi kerusuhan yang ada itu diantisipasi dengan memperkuat pasukannya, dan yang lebih penting lagi adalah mendekati tokoh-tokoh kunci dalam komunitas tersebut. Pendekatan kepada tokoh itu berguna sekali untuk mengendalikan gerak massa yang kontraproduktif.
Negara haruslah belajar dari berbagai tempat. Jangan sampai ketika kerusuhan sudah terjadi, nyawa sudah melayang, baru negara (pemerintah) tersadarkan diri. Maka, dialog yang dimediasi oleh pemerintah dengan menghadirkan berbagai kelompok yang potensial (ormas, gerakan kepemudaan/mahasiswa, lembaga keagamaan), perlu sekali digiatkan. Jika dialog yang dibuat secara berkala ini berjalan, maka kita akan saling tahu apa keinginan masing-masing. Dengan begitu maka akan terciptalah saling percaya dan masalah-masalah laten pun bisa diselesaikan secara damai dan konstitusional. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Sumber Daya Manusia: Sebuah Pengantar

Dorong Hobi Jadi Buku

Menyoal Mentalitas Bangsa