Batas Jatah Pemimpin

Oleh: Yanuardi Syukur
“Leadership is action, not position, (Kepemimpinan itu aksi, bukan posisi).”
--Donald H. McGannon

Dari jaman kapak hingga ponsel yang digenggam ini, masalah kepemimpinan selalu menarik. Dalam komunitas sederhana, seperti mereka yang berburu dan meramu, rupanya telah ada pemimpin. Di antara hewan-hewan buas, juga ada yang jadi pemimpin—terutama mereka yang menang dalam sebuah pertarungan. Hingga kini, dalam komunitas yang paling sederhana sekalipun, hingga yang begitu kompleks (seperti negara atau organisasi internasional), ada pemimpinnya—baik yang namanya ketua, ataukah yang diamanahkan kepada sekretaris jenderal.
Apa tugas dari pemimpin itu? Kata Henry Kissinger, tugas para pemimpin adalah “menggerakkan orang-orangnya dari tempat mereka sekarang ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi.” Berarti bahwa pemimpin itu orang-orang terpilih yang punya visi yang jauh ke depan. Mereka punya impian yang impian itu menggerakkan massa rakyatnya atau komunitasnya untuk menjelajahi visi besar itu.
“Siapa yang kuat, dialah yang menjadi pemimpin.” Bisa jadi kalimat ini benar, dan menemukan faktanya. Di komunitas sederhana, yang kuatlah yang jadi pemimpin. Saat ini juga begitu. Mesir saat ini yang tengah bergejolak dibawah pimpinan Husni Mubarak juga mengandalkan kekuatan militer untuk memberangus mereka yang anti kepadanya—setidaknya sejak 1981 hingga pra revolusi 2011. Amerika Serikat untuk mempertahankan dirinya dari serangan luar—seperti Al-Qaeda—juga mempertontonkan kekuatan militernya. Begitu juga di jaman Orde Baru, kekuatan status quo juga sangat mengandalkan militernya.
Lantas, pemimpin itu berkuasa sampai kapan? Adakah batas waktu atau limitnya? Di Arab para pemimpin bertahan sangat lama. Mubarak sampai 30 tahun. Raja-Raja Saudi juga begitu. Saddam Hussein sebelum invasi dan tertangkap dalam sebuah bunker, juga seperti itu. Boleh dikata, kekuasaan mereka di atas dari 20 tahun. Jadi, satu generasi mereka memimpin negerinya.

ALANGKAH NIKMATNYA
Kenapa manusia tertarik dan betah di kursi kepemimpinan?  Ada banyak alasan yang mendasarinya. Menurut Anthony D’Souza (2007), ada banyak alasan seseorang mau menjadi pemimpin. Bisa jadi karena kekuasaan, kekayaan, gengsi, tantangan, pengakuan, rasa hormat, atau ingin memberi arah para komunitas atau negaranya. Dari semua itu, oleh D’Souza dirangkum menjadi tiga alasan, yaitu: untuk mendapatkan kekuasaan, menjadi pengendali, dan keinginan untuk dilayani (Alfian, 2009). 
Dalam realitanya, karena pemimpin itu merasa nyaman dan nikmat di posisi itu, maka mereka pun pada titik tertentu menghalalkan segala cara. Mereka perlahan menjadi Machiavellis. Bagaimanakah tipikal penguasa yang baik menurut Machiavelli? Penguasa yang baik, kata pemikir politik dari Italia itu, “adalah yang mampu menundukkan watak singa dan rubah.” Maksudnya bagaimana? Pemimpin itu harus kuat seperti singa sekaligus licik seperti rubah. Kenapa dua hewan itu yang dipakai? Karena singa itu disegani dengan kekuatannya tapi sering ia tidak waspada dengan perangkap, sedangkan rubah ia sanggup menghadapi perangkap walaupun ia tidak dapat membela diri bila diserang serigala.
Begitulah kalau seseorang telah nyaman dengan kursi nomor satu. Di berbagai tempat kita saksikan—termasuk di negeri ini juga—banyak sekali incumbent yang pada akhirnya bersaing kembali untuk menduduki kursinya yang semula. SBY tidak cukup satu kali, akhirnya mencalonkan lagi dan jadi presiden yang kedua kalinya. Di berbagai daerah, para gubernur dan bupati juga tak ketinggalan. Tampaknya karena di posisi itu mereka bisa mendapatkan apa keinginannya, atau kalau mau berbaik sangka, para incumbent itu “merasa belum puas untuk mengabdi pada negeri ini.”

POLITIK DINASTI
Apa derivasi dari kepemimpinan yang tidak dibatasi? Kalau tidak dibatasi, maka akan ada kecenderungan mengarah pada politik dinasti. India, Pakistan, juga termasuk AS membuktikan itu. Di AS, ada “Dinasti Bush” dari Bush senior dan junior (nama belakangnya pakai Bush dua-duanya). Di India, Jawaharlal Nehru mengalirkan darah politiknya pada Indira dan Rajiv Gandhi—walau pada akhirnya keduanya tewas dalam sebuah pembunuhan politik. Di Filipina, Gloria Macapagal Arroyo adalah putri dari Presiden Diosdago Macapagal. Di Singapura, Lee Kuan Yew juga ada Dinasti Lee. Di Suriah ada Bashar Al-Assad yang putra dari Presiden Hafez Al-Assad.
Politik dinasti ini pengaruhnya bisa baik, juga bisa buruk. Jika yang berkuasa itu adalah mereka yang tipikalnya baik, tentu negerinya akan baik. Tapi yang karakternya buruk, maka buruk juga kepemimpinannya. Dalam sejarah kekhalifahan Islam juga membuktikan itu. Ada di antara khalifah yang benar-benar baik, shalih, serta peduli kepada rakyatnya, seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sudah masyhur sekali, walaupun hanya dua setengah tahun ia berkuasa. Di samping itu, dinasti politik ini juga memperlihatkan adanya karakter khalifah yang secara empiris terlihat baik, tapi dasarnya begitu keruh. Inilah yang menjadi salah satu sebab kenapa kekhalifahan itu mundur, karena telah rusak secara internal.

DEMOKRASI DAN BATAS JATAH
Ide demokrasi asalnya dari barat. Dari pemikiran para filsuf di Yunani, kemudian dikaji di negeri-negeri barat, ada trial and error (coba dan salah), hingga konsepsinya menjadi relatif sempurna dan dijual di berbagai negeri—termasuk di negara-negara Arab dan negara dunia ketiga seperti Indonesia. tentu saja ada yang pro dan kontra dengan demokrasi barat. Mereka yang kontra, ada yang menyebut bahwa “demokrasi adalah sistem kufur”, seperti yang menjadi salah satu kampanye besar gerakan transnasional Hizbut Tahrir. Juga ada yang setuju dengan demokrasi dengan beberapa catatan. Al-Ikhwan di Mesir setuju dan ikut terlibat dalam parlemen dengan berbagai catatan. Ada juga yang mencoba untuk menyandingkan demokrasi dengan agama (Islam), seperti dalam jargon teo-demokrasi atau “demokrasi yang berketuhanan.” Di negara kita, demokrasi diserap oleh budaya nasional kita menjadi “demokrasi pancasila.” 
 Salah satu prasyarat dari demokrasi adalah adanya pemilihan umum yang berarti ada suksesi politik. Suksesi berarti pergantian kepemimpinan. Ini berarti bahwa pemimpin itu bisa jadi hanya satu periode, kemudian selanjutnya digeser oleh yang lainnya. Atau, jika di pemilu kali kedua sang incumbent itu menang, maka ia berhak melanjutkan kepemimpinannya hingga dua kali. Hanya dua kali! Jika demokrasi dengan pembatasan dua periode yang kita ikuti, maka tak ada lagi pemimpin yang semaunya memerintah.  
Ada baiknya memang seperti itu. Jadi, kepemimpinan itu diputar dan ada peluang sebuah bangsa untuk melahirkan banyak-banyak stok pemimpin. Artinya, kalau misalnya di sebuah kabupaten setiap pemilu bupatinya berganti, maka makin banyak stok pemimpin dari daerah tersebut yang bisa bersaing pada tingkatan propinsi. Begitu juga jika di sebuah propinsi tiap periode gubernurnya satu kali saja menjabat, maka stok itu akan bertambah banyak. Di tingkatan negara juga begitu. Jadi, mereka yang sudah pernah menjadi presiden alangkah lebih baiknya lagi untuk berkiprah di tingkatan internasional—misalnya menjadi ketua atau sekjen bagi organisasi regional, atau yang berskala dunia. Ini menjadi baik sekali agar kita tidak miskin stok pemimpin.
Pembatasan jatah masa kepemimpinan yang hanya dua periode itu baik sekali. Kecenderungan buruk seperti Mubarak yang puluhan tahun jadi presiden, tentu harus diakhiri oleh rakyat negeri seribu menara itu. Di negeri ini kita juga sudah mengakhiri masa itu dengan Reformasi 1998. Dalam konteks daerah, maka ada baiknya agar para pemimpin yang sudah satu kali menjabat untuk tidak melanjutkan lagi kepemimpinannya—walaupun masih berpeluang. Tentu itu dengan pertimbangan bahwa telah ada pembibitan pemimpin yang kelak akan menggantikannya. Masalahnya memang, tak semua orang dan tak mudah untuk mencetak seseorang jadi pemimpin. Inilah yang membuat kenapa para incumbent berpikir untuk mempertahankan kursinya yang bisa jadi tambah “empuk” dan “basah” di periode selanjutnya. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Sumber Daya Manusia: Sebuah Pengantar

Dorong Hobi Jadi Buku

Menyoal Mentalitas Bangsa