Gerilya Dini Merebut Sofifi

Oleh: Yanuardi Syukur
SUKSESI orang nomor satu di Maluku Utara akan dihelat pada 2013. Namun sejak sekarang para peminat telah menunjukkan gerakannya. Ahmad Hidayat Mus, ketua DPD I Golkar Malut sudah menyatakan siap menggantikan Thaib Armaiyn. Tak ketinggalan, Dr. Zainal Suleman yang saat ini menjabat salah seorang pejabat di Jakarta juga berminat. Abdurrahim Fabanyo, lewat stiker-stikernya, mulai menyebarkan pengaruhnya. Selain itu, masih ada peminat lainnya yang bisa jadi sudah bergerak, tapi masih “di bawah tanah.”
Gerilya politik untuk menduduki MU-1 ini merupakan hajatan yang paling massif di daerah. Seperti juga daerah lainnya, pemilukada adalah aktivitas yang paling menyentuh masyarakat. Para kandidat masuk keluar kampung untuk berkampanye meraih hati rakyat. Tak jarang di antara mereka yang dengan dermawannya membagi-bagikan selembar dua lembar “Soekarno-Hatta” berwarna merah atau “I Gusti Ngurah Rai” yang biru kepada masyarakat—baik itu secara sirri (sembunyi-sembunyi), atau jahri (terang-terangan).

LEBE CAPAT LEBE BAE
Walau kalah, slogan Jusuf Kalla (JK) “Lebih Cepat Lebih Baik” (terjemahan lokalnya: lebe capat lebe bae) memberikan inspirasi bagi banyak orang. Kata “cepat” berarti lawan dari “lambat.” Kepemimpinan SBY dianggap oleh banyak kalangan—termasuk JK—sebagai pemimpin yang lambat. Sedangkan kata “lebih baik” bisa diartikan sebagai kondisi bahwa “sekarang ini sudah baik, tapi ada lagi yang lebih baik dari itu.”
Gerilya politik yang lebih cepat sudah diperlihatkan oleh beberapa kandidat. Ahmad Hidayat Mus (AHM) telah terang-terangan menyatakan niatan itu. Di beberapa tempat, poster besar pun dipajang. AHM disandingkan dengan tokoh lokal—seperti di Halut—juga bersama Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Tampaknya AHM meyakini bahwa lebih cepat bergerak menyatakan diri sebagai calon gubernur itu baik agar masyarakat lebih mengetahui dan timbul kesan bahwa ia adalah pemimpin yang siap sejak awal—tidak “tiba masa tiba akal.”
Abdurrahim Fabanyo (AF) kelihatannya lebih belakangan dari AHM. Stiker wajahnya yang digandengkan dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga Menko Perekonomian KIB II Hatta Rajasa (HR) juga disebar. Di stiker berukuran kecil itu, nama HR ditulis tidak dalam kapasitasnya sebagai ketua umum partai, akan tetapi sebagai menteri. Tertulis di situ, “Abdurrahim Fabanyo layak menjadi Gubernur Maluku Utara 2013-1018.” Testimoni dari HR ini tampaknya diyakini oleh tim kampanye AF cukup ampuh untuk mendongkrak popularitas calon dan timbul kesan bahwa kandidat tersebut memiliki jaringan kuat atau diterima  hingga di pemerintahan pusat.
Gerilya dini ini juga ada pada Dr. Zainal Suleman (ZS). Saat ini ZS aktif di bidang pendidikan di Jakarta. Menurut salah satu tim kampanyenya, ZS tiap bulan mengunjungi Maluku Utara. Beberapa waktu lalu, ZS hadir dalam sebuah diskusi pendidikan di Tobelo, dan beberapa kabupaten lainnya—termasuk kegiatan di kota Ternate. Sebagai yang berminat untuk menjadi orang nomor satu di propinsi ini, tentu ZS juga pasti mengucurkan “lembar-lembar berharga”-nya untuk niatan itu.   
Bisa jadi masih ada kandidat lainnya. Wakil Gubernur Abdul Gani Kasuba, sangat besar kemungkinan menjadi calon gubernur. Kasuba memiliki massa yang tak bisa disebut sedikit. Ia juga tokoh spiritual, teduh, dan terdapat kesan positif bahwa ia pribadi yang dermawan. Ini menjadi modal berharga bagi Kasuba jika kelak ia dicalonkan sebagai calon gubernur. Seperti yang menjadi target PKS, bahwa kader-kadernya (bahasa komunitasnya: ikhwah/saudara seperjuangan) yang sangat diutamakan untuk menjadi calon orang nomor satu—kalau kadernya sudah tidak ada, barulah dicari yang bukan “ikhwah.”

PERANG CITRA
Beberapa tahun terakhir istilah “Politik Pencitraan” banyak dipakai. Istilah ini secara mudah dapat dipahami sebagai sebuah rekayasa yang memoles seorang kandidat penguasa sebaik-baiknya dan dapat diterima oleh masyarakat. Secara sarkastik ada yang menyebut sebagai “politik salon”—kandidat dirias di salon sedemikian rupa hingga pas untuk dipajang dalam pemilukada.
Politik citra ini tampaknya lebih konotatif sifatnya. Karena timbul kesan bahwa kepemimpinan seseorang itu diterima berdasarkan citra yang dibuat, bukan karena karakter pribadi yang memang pantas untuk menjadi pemimpin. Bahayanya pemimpin seperti ini akan terlihat ketika ia telah berkuasa. Citra baik yang dilekatkan padanya bisa menjadi luntur ketika kebijakan telah ada di tangannya.
Di jaman purba atau komunitas sederhana, seorang pemimpin tidak dinilai berdasarkan citra. Waktu itu masyarakat dinilai berdasarkan prestasinya. Kalau ia kuat, berarti ia punya prestasi dalam kekuatan fisik. Ini tentu berguna sekali karena di jaman purba, yang namanya perang fisik masih sangat dominan. Di jaman modern, kita tidak lagi harus berpatokan pada masalah fisik itu—setidaknya ketika lelaki dari Jombang (Gus Dur) diangkat menjadi presiden.

VISI DAN MISI, DIMANA?
Suatu waktu, di jejaring sosial Facebook, saya meminta visi dan misi seorang calon kepala daerah. Hingga ia kalah dalam pertarungan politik itu, tak ada sedikitpun visi misi yang dikirimkan kepada saya, bahkan di notesnya juga tidak terjabarkan dengan baik apa program yang akan ia lakukan. Sejak itu saya bertanya dalam hati, bisa jadi calon pemimpin kita lebih banyak semangatnya untuk menjadi pemimpin, tapi miskin ide, terutama ide perubahan bagi daerah yang akan dipimpinnya.
Visi dan Misi adalah gambaran jangka panjang dan strategi jangka pendek yang akan ia lakukan ketika menjabat. Selama ini kita lebih banyak melihat foto wajah besar-besar di pinggiran jalan ketimbang visi dan misi seorang kandidat. Padahal, yang paling penting dalam seorang calon pemimpin adalah visi misinya. Kita perlu tahu mau dibawa kemana daerah ini.
Tapi memang masalahnya tidak semua konstituen tertarik untuk membaca visi dan misi kandidat itu. Banyak dari kita yang langsung percaya kepada seorang kandidat setelah terbentuk citra baik di kepala. Tampaknya, ada keyakinan bahwa seorang yang citranya baik, tentu memiliki program yang baik. Tentu tidak juga seperti itu. Olehnya itu maka visi misi kandidat perlu sekali disebarkan oleh para tim kampanye. Jangan cuma foto saja yang dipajang. Dengan visi misi inilah maka masyarakat bisa memberikan apresiasi kritis dan sekaligus tanda bahwa kandidat itu benar-benar memiliki ide-ide perubahan bagi kemajuan masyarakat.
Jadi, ada baiknya dari sekarang agar para tim kampanye untuk menyebarkan visi dan misi (walau secara umum) yang akan dibawa oleh para kandidat yang hendak bertarung menjadi penguasa di kompleks paling megah di Sofifi itu. Tak cuma foto yang telah diedit sedemikian rupa. Penyebaran visi dan misi ini tentu saja akan memperkaya wacana pembangunan—termasuk juga pengetahuan—yang sangat berguna bagi masyarakat seantero Maluku Utara. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Sumber Daya Manusia: Sebuah Pengantar

Dorong Hobi Jadi Buku

Menyoal Mentalitas Bangsa